CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, 19 Juli 2013

Ajian Pancasona (Pengertian, Syarat, Mantra & Pantangan)


Rabu,12 Januari2011. Denmaspriyadi : Dalam cerita pewayangan, konon cuma Prabu Dasamuka saja yang memiliki ajian Pancasona. Ajian Pancasona ini teramat sakti sehingga bagi siapa saja yang memilikinya dia akan disegani dan ditakuti baik oleh kawan maupun lawan. Menurut cerita, karena teramat saktinya ajian Pancasona ini, bagi orang yang memiliki ajian ini, jasadnya tidak bisa membusuk dan ia tidak bisa dibunuh karena mempunyai nyawa rangkap. Bagian tubuh yang sudah terpisah atau terpotong akan tersambung kembali setelah menyentuh bumi. Akan tetapi jika bagian tubuh yang terpotong-potong tersebut dipisahkan dengan air atau sungai bagian tubuh yang terpisah tidak bisa bersatu kembali mati selamanya.
Syarat bagi orang yang ingin menguasai ajian Pancasona ini sangat berat yaitu:
- Puasa Senin dan Kamis selama 7 bulan di bulan Syuro
- Pusa mutih selama 21 hari
- Pati geni semalaman dan dilanjutkan dengan ngebleng selama satu malam
Selama menjalani puasa setiap selesai sholat fardhu, diharuskan membaca dan melafalkan mantranya sebanyak 40 kali. Setelah syarat-syaratnya sudah mampu dijalani dengan mulus, setiap hari diharuskan mengamalkan mantranya sehari 1 kali.
Berikut adalah rapalan mantra aji Pancasona:
"Bismillahirrohmanirrohim... niat ingsun matek aji Pancasona, ono wiyat jroning bumi. Suryo murub ing bantolo, bumi sap pitu anelehi sabuwono, rahino tan keno wengi, urip tan kenoning pati... yo ingsun pangawak jagat, mati ora mati tinceng geni tanpo kukus, ceng... cleleng, ceng...cleleng, kesonggo ibu pertiwi, aku tangi, mustiko lananging joyo, yo aku si Pancasona, retune nyowo sakelir".
Pantangan yang harus dilakukan dan jangan sekali-kali dilanggar adalah, tidak boleh sombong, tidak boleh merusak pagar ayu atau mengambil istri orang, patuh dan taat pada orang tua.
Jika pantangan tersebut dilanggar, maka kesaktian ajian Pancasona akan lenyap dan pupus dengan sendirinya.

Rabu, 17 Juli 2013

 

 5 keris ternama

seperti yang kita ketahui,indonesia merupakan negara yang masih menyimpan banyak kisah-kisah ghaib,dan keris adalah salah satu benda ghaib yang notabene nya merupakan warisan budaya yang diturunkan dari nenek moyang kita,diantara banyak keris yang terdapat di indonesia ada beberapa keris yang nama nya tersohor di pelosok negeri,serta menjadi perbincangan oleh banyak orang,berikut keris-keris yang memiliki nama besar di kelasnya.

1. keris mpu gandring
Keris Mpu Gandring adalah senjata pusaka yang terkenal dalam riwayat berdirinya Kerajaan Singhasari di daerah Malang, Jawa Timur sekarang. Keris ini terkenal karena kutukannya yang memakan korban dari kalangan elit Singasari termasuk pendiri dan pemakainya, ken Arok.Keris ini dibuat oleh seorang pandai besi yang dikenal sangat sakti yang bernama Mpu Gandring, atas pesanan Ken Arok, salah seorang tokoh penyamun yang menurut seorang brahmana bernama Lohgawe adalah titisan wisnu.

Setelah selesai menjadi keris dengan bentuk dan wujud yang sempurna bahkan memiliki kemampuan supranatural yang konon dikatakan melebihi keris pusaka masa itu. Mpu Gandring menyelesaikan pekerjaannya membuat sarung keris tersebut. Namun belum lagi sarung tersebut selesai dibuat, Ken Arok datang mengambil keris tersebut yang menurutnya sudah satu hari dan harus diambil. Kemudian Ken Arok menguji Keris tersebut dan terakhir Keris tersebut ditusukkannya pada Mpu Gandring yang konon menurutnya tidak menepati janji (karena sarung keris itu belum selesai dibuat) selebihnya bahkan dikatakan untuk menguji kemampuan keris tersebut melawan kekuatan supranatural si pembuat keris (yang justru disimpan dalam keris itu untuk menambah kemampuannya). Dalam keadaan sekarat, Mpu Gandring mengeluarkan kutukan bahwa Keris tersebut akan meminta korban nyawa tujuh turunan dari Ken Arok.Sampai sekarang keris mpu gandring ini belum ditemukan oleh siapapun.

2.Keris Kyai Condong Campur
Condong Campur adalah salah satu keris pusaka milik Kerajaan Majapahit yang banyak disebut dalam legenda dan folklor. Keris ini dikenal dengan nama Kanjeng Kyai Condong Campur.
Keris ini merupakan salah satu dapur keris lurus. Panjang bilahnya sedang dengan kembang kacang, satu lambe gajah, satu sogokan di depan dan ukuran panjangnya sampai ujung bilah, sogokan belakang tidak ada. Selain itu, keris ini juga menggunakan gusen dan lis-lis-an.
Condong Campur merupakan suatu perlambang keinginan untuk menyatukan perbedaan. Condong berarti miring yang mengarah ke suatu titik, yang berarti keberpihakan atau keinginan. Sedangkan campur berarti menjadi satu atau perpaduan. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan suatu keadaan tertentu.
Konon keris pusaka ini dibuat beramai-ramai oleh seratus orang mpu. Bahan kerisnya diambil dari berbagai tempat. Dan akhirnya keris ini menjadi keris pusaka yang sangat ampuh tetapi memiliki watak yang jahat.
Dalam dunia keris muncul mitos dan legenda yang mengatakan adanya pertengkaran antara beberapa keris. Keris Sabuk Inten yang merasa terancam dengan adanya keris Condong Campur akhirnya memerangi Condong Campur. Dalam pertikaian tersebut, Sabuk Inten kalah. Sedangkan keris Sengkelat yang juga merasa sangat tertekan oleh kondisi ini akhirnya memerangi Condong Campur hingga akhirnya Condong Campur kalah dan melesat ke angkasa menjadi Lintang Kemukus(komet atau bintang berekor), dan mengancam akan kembali ke bumi setiap 500 tahun untuk membuat huru hara, yang dalam bahasa Jawa disebut ontran-ontran.

3.Keris Pusaka Nagasasra Sabuk Inten
Keris Pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten adalah dua benda pusaka peninggalan Raja Majapahit. Nagasasra adalah nama salah satu dapur (bentuk) keris luk tiga belas dan ada pula yang luk-nya berjumlah sembilan dan sebelas, sehingga penyebutan nama dapur ini harus disertai dengan menyatakan jumlah luk-nya.
Pada keris dapur Nagasasra yang baik, sebagian besar bilahnya diberi kinatah emas, dan pembuatan kinatah emas semacam ini tidak disusulkan setelah wilah ini selesai, tetapi telah dirancang oleh sang empu sejak awal pembuatannya. Pada tahap penyelesaian akhir, sang empu sudah membuat bentuk kinatah sesuai rancangannya . Bagian-bagian yang kelak akan dipasang emas diberi alur khusus untuk "tempat pemasangan kedudukan emas" dan setelah penyelesaian wilah selesai, maka dilanjutkan dengan penempelan emas oleh pandai emas.
Salah satu pembuat keris dengan dapur Nagasasra terbaik, adalah karya empu Ki Nom, merupakan seorang empu yang terkenal, dan hidup pada akhir zaman kerajaan Majapahit.

4.keris taming sari
Di ceritakan pemilik asal keris ini adalah merupakan pendekar atau hulubalang kerajaan mahajapahit yang bernama Taming Sari. Keris ini kemudianya bertukar tangan kepada hulubalang melaka yang telah berjaya membunuh taming sari bernama Hang Tuah.Menurut cerita yang di ceritakan kejadian ini berlaku pada zaman kesultanan melaka di bawah pemerintahan sultan muzafar shah. Sultan tersebut hendak menikahi anak perempuan raja mahajapahit. Angkatan melaka telah berkunjung ke majapahit bersama - sama dengan para pembesar dan hulubalang melaka yang terdiri dari Hang Tuah,Hang Jebat , Hang Lekiu, Hang Kasturi dan Hang Lekir.
Ketika sambutan kepada sultan tersebut perbagai persembahan di sembahkan dan akhir sekali Taming sari meminta kebenaran kepada raja mahajapahit untuk menantang hulubalang melaka bermain keris. Tantangan tersebut di terima oleh Hang Tuah dan berlakulah babak permainan dan bertikam keris. kedua - dua pendekar nampak sama hebat dan gagah ... namun pada satu ketikan hang tuah berjaya menikan taming sari dengan keris nya ... tetapi tidak lut atau kebal .
Maka hang tuah berasakan bahawa kekebalan taming sari adalah disebabkan kesaktian yang ada pada kerisnya lalu hang tuah berusaha merampas keris itu. ketika di dalam pertempuran itu hang tuah berjaya membuat helah yang menyebabkan keris taming sari terlekat ke dinding lalu ia merampasnya.
namun adalah pantang membunuh musuh yang tidak bersenjata lalu diberikan keris beliau kepada taming sari dan di pendekkan cerita hang tuah berjaya menikan taming sari lalu mati. Lalu keris itu telah dihadiahkan kepada hang tuah oleh raja mahajapahitt.

5.keris sengkelat
Keris Sengkelat adalah keris pusaka luk tiga belas yang diciptakan pada jaman Majapahit (1466 – 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri.
Mpu Supa adalah salah satu santri Sunan Ampel. Konon bahan untuk membuat keris Sengkelat adalah cis, sebuah besi runcing untuk menggiring onta. Konon, besi itu didapat Sunan Ampel ketika sedang bermunajat. Ketika ditanya besi itu berasal darimana, dijawab lah bahwa besi itu milik Muhammad saw. Maka diberikan lah besi itu kepada Mpu Supa untuk dibuat menjadi sebilah pedang.
Namun sang mpu merasa sayang jika besi tosan aji ini dijadikan pedang, maka dibuatlah menjadi sebilah keris luk tiga belas dan diberi nama keris Sengkelat. Setelah selesai, diserahkannya kepada Sunan Ampel. Sang Sunan menjadi kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya.Maka oleh Sunan Ampel disarankan agar keris Sengkelat diserahkan kepada Prabu Brawijaya V.
Ketika Prabu Brawijaya V menerima keris tersebut, sang Prabu menjadi sangat kagum akan kehebatan keris Kyai Sengkelat. Dan akhirnya keris tersebut menjadi salah satu piyandel (maskot) kerajaan dan diberi gelar Kangjeng Kyai Ageng Puworo, mempunyai tempat khusus dalam gudang pusaka keraton.
Pusaka baru itu menjadi sangat terkenal sehingga menarik perhatian Adipati Blambangan. Adipati ini memerintahkan orang kepercayaannya untuk mencuri pusaka tersebut demi kejayaan Blambangan, dan berhasil. Mpu Supa yang telah mengabdi pada kerajaan Majapahit diberi tugas untuk mencari dan membawa kembali pusaka tersebut ke Majapahit. karena taktik yang jitu dari mpu sumpa akhirnya keris itu ia dapatkan kembali dan tanpa menyebabkan peperangan,Malah Ki Nambang akhirnya dianugerahi seorang putri kadipaten yang bernama Dewi Lara Upas, adik dari Adipati Blambangan itu sendiri.Sang Mpu yang berhasil melaksanakan tugas selalu mencari cara agar dapat kembali ke Majapahit. Ketika kesempatan itu tiba maka beliau pun segera kembali ke Majapahit dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi, beliau meninggalkan pesan kepada sang istri bahwa kelak jika anak mereka lahir laki-laki agar diberi nama Joko Suro, serta meninggalkan besi bahan membuat keris.



               LESUNG    



  



Lesung

Seorang wanita menumbuk beras di sebuah desa dekat Bandung (foto diambil tahun 1908)
Lesung adalah alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras. Fungsi alat ini memisahkan kulit gabah (sekam, Jawa merang) dari beras secara mekanik. Lesung terbuat dari kayu berbentuk seperti perahu berukuran kecil dengan panjang sekitar 2 meter, lebar 0,5 meter dan kedalaman sekitar 40 cm.
Lesung sendiri sebenarnya hanya wadah cekung, biasanya dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya. Gabah yang akan diolah ditaruh di dalam lubang tersebut. Padi atau gabah lalu ditumbuk dengan alu, tongkat tebal dari kayu, berulang-ulang sampai beras terpisah dari sekam.
Lesung di Jawa biasa dibuat dari kayu embacang yang tua

Buku Keris

 
Javakeris kini menyediakan buku-buku keris bagi peminat keris.
Sebagian besar buku-buku keris tersebut hanya tersedia dalam bentuk fotokopi, karena sudah habis terjual (out of print). 
Daftar Buku-Buku Keris dari Javakeris
  • Ensiklopedi Keris ( The Keris Encyclopaedia )
    Ensiklopedi Keris 2004 lebih dari sekedar versi baru dari versi sebelumnya (1988), tapi lebih lengkap, lebih banyak foto dan informasi perihal keris dan berbagai aspek perkerisan. Disusun oleh almarhum Bambang Harsrinuksmo, seorang ilmuwan keris sejati asli Indonesia, buku ini adalah karya agung terakhirnya, yang diterbitkan sebulan setelah beliau wafat. 
    Bambang Harsinuksmo. Gramedia Pustaka Utama, 1st Ed. 2004. 640 pp. 26,5 x 19,5 cm. Hard Cover. Original.


    Paket Buku-buku Keris:
  • Tanya Jawab Soal Keris dengan Bambang Harsrinuksmo
    Bambang Harsrinuksmo. Pusat Keris Jakarta, 1985. 60 pp.Versi Fotokopi.
  • Petunjuk Praktis Merawat Keris
    Bambang Harsrinuksmo. Pusat Keris Jakarta, 2nd Ed., 1986. 56pp. Versi Fotokopi.
  • Mengungkap Rahasia Isi Keris
    Bambang Hars. Pustakakarya Grafikatama, 1990. 108 pp. Versi Fotokopi.
  • Pamor Keris
    Bambang Hars. CV Agung Lestari, 1995. 172 pp. Versi Fotokopi.
  • Ragam Hulu Keris 
    Suhartono Rahardjo. Kreasi Wacana, 2003.156 pp. Versi Fotokopi.

    Pesanan minimal 4 buku.
Peminat bisa menghubungi kami langsung via email:

Seniman Keris
 

Bilah keris adalah hasil karya seniman pembuatnya. Jika keris itu tergolong adikarya (masterpiece), maka seniman pembuatnya diberi gelar empu. Tetapi keris selain terdiri atas bilahnya, juga harus dilengkapi dengan berbagai perabot yang terdiri atas: warangka, ukiran, mendak, selut, dan pendok. Masing-masing bagian itu juga dibuat oleh para seniman.
Dalam dunia perkerisan, riwayat para empu hampir selalu merupakan kisah yang menarik, dan merupakan legenda yang dituturkan turun menurun. Berikut ini adalah kisah empu-empu ternama dalam sejarah perkerisan di Pulau Jawa.

EMPU PANGERAN SEDAYU 
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan sewaktu ia datang ke keraton, saat itu Majapahit sedang geger. Pusaka kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki Supa Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah, jika Empu Supa sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, maka raja akan berkenan menerima pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan dianugerahi berbagai macam hadiah.
Ki Supa menyatakan kesanggupannya.
Setelah memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama adiknya berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya. Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang. Nama ‘rambang’ berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan tanpa tujuan yang pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten Blambangan. (Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai di Blambangan, lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu Ki Kasa. Tetapi sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga merupakan nama samaran atau nama alias Ki Supa).
Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi menjumpai Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa diterima menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama Pitrang, dan menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati. 
Ketika beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu hasil kerjanya, ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat) sebilah keris lurus yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan duplikatnya itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.
Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran keris itu dalam waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia membuat keris putran itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen -nya. Adipati Blambangan menyanggupi syarat itu, bahkan ia akan menempatkan beberapa prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar jangan ada orang yang masuk mengganggu kerjanya.
Di besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam waktu 40 hari itu Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris putran, yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.
Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.
Karena sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan tidak bisa lagi membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang putran. Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.
Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.
Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak pulang ke Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika anaknya lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah cukup besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit. (Baca juga Jaka Sura, Empu).
Betapa gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa berhasil menemukan dan mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai Sumelang Gandring. Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan, Empu Ki Supa Mandrangi kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan diangkat menjadi pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom) di daerah Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa dengan keris buatan Pangeran Sedayu.
Walaupun telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya raya berkat kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu masih tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin indah, makin anggun.
Adapun keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai dengan mengamati ciri-ciri sebagai berikut:
Ganjanya datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya berukuran sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh. Buntut cecak-nya berbentuk ambuntut urang atau mekrok. Jika membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa lumampah.
Posisi bilah pada ganja agak tunduk, tidak berkesan galak, tetapi anggun berwibawa. Kembang kacang-nya dibuat ramping nggelung wayang. Sogokan-nya agak melengkung di bagian ujung, menyerupai paruh burung. Janur-nya serupa lidi. Tikel alis-nya tergurat jelas. Begitu pula ron da-nya juga dibuat jelas.
Keris buatan Pangeran Sedayu selalu matang tempaan, besinya berwarna hitam kebiruan, nyabak, dan berkesan basah. Pamornya lumer pandes dan hampir selalu merupakan pamor tiban. Bahkan terkadang tanpa pamor sama sekali, yakni yang disebut keris kelengan. Besi keris tangguh Pangeran Sedayu ini demikian prima, tahan karat, bahkan banyak di antaranya cukup diwarangi lima tahun sekali.
Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu membawakan karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.
Pendek kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian keris termasuk ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan sempurna. Begitu rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi bagian sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris, buatan Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua keris yang ada.
Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan matang wasuhan.
Selain tetap berkarya sebagai empu, Pangeran Sedayu juga mendidik orang-orang di daerahnya yang berminat belajar menjadi empu. Mula-mula mereka dijadikan panjak, dan setelah mahir disuruh membuat keris sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat mandiri bekerja sebagai empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa kini disebut keris Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai keris buatan Pangeran Sedayu.

JAKA SURA
Disebut pula Empu Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan hidup menjelang akhir zaman Majapahit.
Keris buatannya dapat ditandai dengan memperhatikan ciri-ciri sebagai berikut :
Ganjanya rata, gulu meled-nya sempit, sirah cecak-nya lonjong. Kalalu membuat kembang kacang bentuknya kokoh bagaikan kuku bima, blumbangan-nya dalam, guratan tikel alis-nya jelas, sogokan-nya panjang, janurnya meruncing di ujungnya. Kalau Empu Jaka Sura membuat ron da, bentuknya jelas dan runcing ujungnya.
Bilah keris buatan Empu Jaka Sura agak tebal, penampilannya meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg - Bhs. Jawa). Secara keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan karakter berwibawa, terampil, gagah, dan meyakinkan.

Kakak Jaka Supa
Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak tiri Empu Jaka Supa, sedangkan ayahnya bernama Supa Mandrangi yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri bangsawan kerabat Adipati Blambangan.
Ketika menjelang remaja, Jaka Sura bertanya pada ibunya, siapa dan dimana ayahnya. Si ibu mengatakan, ayah Jaka Sura adalah seorang empu yang pernah mengabdi pada Kadipaten Blambangan. Sebelum Jaka Sura lahir, sang Ayah harus kembali ke Majapahit. Sebelum pergi sang Ayah berpesan, agar jika anak yang lahir nanti laki-laki, diberi nama Jaka Sura. Dan, kalau anak itu sudah dewasa, agar pergi menyusulnya ke Majapahit.
Sesudah mendengar penjelasan dari ibunya, Jaka Sura lalu belajar membuat keris. Ia banyak sekali membuat keris sajen - yang biasanya dibutuhkan oleh para petani masa itu untuk sesaji sawahnya. Keris sajen dalam jumlah besar itulah yang dibawanya sebagai bekal perjalanan ke Majapahit. Agar lebih mudah membawanya, keris sajen yang ukurannya cuma sejengkal itu dilubangi pesi-nya, seperti lubang jarum jahit tangan. Pada lubang itu dimasukkan tali. Cara ini, menurut bahasa Jawa disebut direntengi.
Sepanjang perjalanan dari Blambangan ke Majapahit, ia banyak bertanya pada petani yang dijumpainya, manakah arah jalan menuju Majapahit. Sebagai terima kasih atas bantuannya menunjukkan arah, ia menghadiahkan keris sajen buatannya pada para petani itu.
Dulu, para petani umumnya percaya, tuah keris sajen karya Empu Jaka Sura ini berkhasiat untuk menyuburkan tanaman dan menangkal serangan hama tanaman. Bahkan sampai sekarang (akhir abad ke-20) sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mempercayai hal tersebut.
Menjelang sampai di Ibukota Majapahit, Jaka Sura menghentikan perjalanannya untuk membuat sebilah pedang. Rencananya pedang itu akan dijadikan buah tangan untuk ayahnya, agar ayahnya tahu bahwa ia juga mewarisi bakat menjadi empu.
Sesampainya di Majapahit Jaka Sura ternyata ditolak ketika hendak masuk ke keraton. Penjelasan yang diberikan oleh empu muda itu tidak dihiraukan oleh para prajurit penjaga pintu gerbang. Karena kesal Jaka Sura lalu menghantamkan pedang buatannya pada pintu gerbang itu sehingga pecah berantakan. Keributan itu menyebabkan Raja Majapahit keluar dan menanyakan apa yang terjadi.
Sesudah mendengar laporan dari prajurit penjaga dan juga dari Jakasura, raja itu memberi tahu bahwa ayahnya telah diangkat menjadi Pangeran, dan tinggal di daerah Sedayu. Setelah mendapat penjelasan itu Jaka Sura lalu mohon diri dan segera berangkat ke Sedayu. Sang Raja juga menugasi Empu Salahita sebagai penunjuk jalan.
Pedang yang ditinggalkan Jaka Sura kemudian dijadikan pusaka Kerajaan Majapahit, dan diberi nama Kanjeng Kyai Lawang. Kata lawang artinya pintu, karena mengingat bahwa kesaktian pedang itu telah menghancurkan pintu gerbang Majapahit. Kini, Kyai Lawang menjadi salah satu pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Sesampainya di Sedayu, Empu Salahita langsung membawa Jaka Sura ke besalen (bengkel kerja) milik Pangeran Sedayu, bukan ke rumahnya, karena mengira sang pangeran sedang berada di besalen-nya. Waktu itu di besalen itu para panjak sedang ramai bekerja di bawah pimpinan Empu Ki Jebat, karena Pangeran Sedayu sedang melakukan tapa brata.
Setelah Jaka Sura diperkenalkan dengan Ki Jebat, tangan kanan Pangeran Sedayu itu bercerita bahwa sang pangeran saat itu sedang gundah hatinya. Soalnya, Pangeran Sedayu mendapat perintah dari raja untuk membuat keris dapur baru yang akan digunakan sebagai pusaka andalan Majapahit, karena pusaka yang terdahulu, yaitu Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, pernah dicuri oleh Adipati Blambangan.
Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu melakukan tapa brata, tetapi bentuk dapur keris yang baru itu belum juga terbayangkan.
Setelah mendengar penjelasan Ki Jebat, Jaka Sura segera mengeluarkan besi sisa peninggalan ayahnya ketika di Blambangan dulu. Besi sisa itu lalu dibakarnya di perapen, dan kemudian ditempanya. Tanpa lelah ia terus bekerja, sehingga akhirnya jadilah sebuah keris dengan dapur baru yang indah. Semua orang yang menyaksikan di besalen itu kagum.
Ki Jebat lalu bertanya pada Jaka Sura, dapur apakah keris yang baru dibuatnya itu. Jaka Sura mengatakan, tidak tahu karena ia hanya bekerja berdasarkan ilham yang muncul tiba-tiba saat itu. Setelah menyerahkan keris itu pada Ki Jebat, Jaka Sura lalu pergi ke kali untuk membersihkan diri.
Sementara itu Pangeran Sedayu datang ke besalen dengan wajah muram. Ia masih merasa sedih karena belum juga mendapat ilham mengenai dapur keris yang akan dibuat. Saat itulah Ki Jebat memperlihatkan keris buatan Jaka Sura.
Betapa gembira hati Pangeran Sedayu melihat keris yang indah itu. Ia bertambah gembira lagi ketika tahu bahwa yang membuatnya adalah Jaka Sura, anaknya sendiri, yang lahir setelah ia meninggalkan Blambangan.
Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja tentu akan berkenan menerima keris indah itu sebagai pusaka keraton. Karena itu ia segera mengajak anaknya menghadap raja di Keraton Majapahit.
Benarlah dugaan Pangeran Sedayu. Raja amat senang dengan keris itu, tetapi juga bingung ketika Pangeran Sedayu dan Jaka Sura memintakan nama bagi dapur keris baru itu. Akhirnya, setelah berpikir sejenak, raja menamakan dapur keris itu: Kanjeng Kyai Sengkelat.
Nama Sengkelat berasal dari kata ‘sengkel’ yang artinya bingung dan kesal karena kehabisan akal. Saat itu raja Majapahit memang sedang kehabisan akal untuk mencarikan nama dapur yang merupakan perpaduan antara keris dapur Carita dengan dapur Parung itu.
Pangeran Sedayu lalu membawanya menghadap raja, untuk memohon agar Jaka Sura diperkenankan mengabdi pada kerajaan. Permohonan dikabulkan, dan karena keris-keris hasil karyanya memuaskan raja, beberapa tahun kemudian Jaka Sura dianugerahi tanah perdikan, yaitu tanah bebas pajak, di daerah Jenu. Selain itu Jaka Sura juga diangkat sebagai adipati di daerah itu. Maka, Jaka Sura kemudian lebih dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Banyak penggemar keris yang mengira bahwa hasil karya Empu Jaka Sura hanya berupa keris sajen. Padahal keris sajen itu hanyalah keris yang dibuat untuk petani guna keperluan sesaji sawah mereka.

Empu Ki Jigja
Terkenal sebagai salah seorang empu pada zaman Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak dari Empu Singkir alias Empu Angga, empu terkenal dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu Surawisesa juga menjadi empu, tetapi tidak bekerja bagi Kerajaan Majapahit, melainkan untuk Kadipaten Blambangan. Menurut buku-buku kuno, jari jempol tangan kirinya berwujud kepala ular.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang (menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani' keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang bakung.

Empu Modin
Adalah nama lain dari Empu Bekeljati, adalah seorang empu dari daerah Tuban yang hidup pada akhir zaman Majapahit.
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan 'mentah'. Pamor yang sering digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan merupakan keris lurus, dengan dapur Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat keris luk, maka luknya kemba. Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.

Pengikut Sunan Bonang
Tentang mengapa Empu Bekeljati kemudian lebih populer dengan sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan Bab Duwung yang ditulis R. Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961, menyebutkan:
Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama Hindu, kemudian menjadi salah seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena ketekunannya mempelajari agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya. Dan, karena lantang suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu menugasi Empu Bekeljati menjadi mua'zin atau penyeru azan. Dalam logat Jawa, kata mua'zin sering diucapkan mua'din, dan lama kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak saat itu Bekeljati lebih dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah, keris buatan Empu Modin dikenal sebagai keris yang memiliki angsar sabar, pemaaf, membuat pemiliknya menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang sekelilingnya. Selain itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan mempermudah pemiliknya mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.

KI NOM, EMPU, seorang empu yang terkenal pada zaman Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Beberapa orang tua ahli keris menceritakan bahwa usia Ki Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama Ki Nom atau Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan nama pemberian Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman terhadap panjangnya umur empu yang terkenal awet muda itu.
Konon, umur Empu Ki Nom lebih dari 100 tahun. Jika cerita-cerita mengenai dirinya benat, angka 100 itu masuk akal, karena Ki Nom dilahirkan pada menjelang akhir zaman Majapahit, jadi kira kira tahun 1520 an. Padahal, tatkala Sultan Agung Anyokrokusumo mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahu 1626, Ki Nom masih mendapat tugas sebagai salah seorang empu tindih, yang membawahkan 80 orang empu lainnya. Berarti pada saat itu umurnya sudah 104 tahun!
Empu Supo Anom, yang nama kecilnya Jaka Supa sebenarnya adalah anak dari Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu, yang hidup pada akhir zaman Majapahit. Ibunya adalah putri kerabat kraton yang ‘dihadiahkan’ kepada Empu Supa Mandrangi ketika pembuat keris terkenal itu diangkat sebagai pangeran dengan gelar Pangeran Sedayu. (Ada cerita rakyat yang menyebutkan bahwa putri keraton itu bernama Dewi Tatiban). Kakaknya, satu ayah lain ibu, bernama Jaka Sura, juga seorang empu terkenal. Oleh raja Majapahit terakhir Empu Jaka Sura diangkat menjadi adipati di daerah Jenu, sehingga juga dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Ki Nom sebenarnya hanya singkatan nama atau panggilan bagi Empu Pangeran Warih Anom yang menguasai tanah perdikan (otonomi & bebas pajak) di daerah Sendang. Itulah sebabnya ia juga dipanggil dengan gelar Pangeran Sendang.
Tanda-tanda utama buatan empu Ki Nom adalah: Keris dan tombak buatan Ki Nom selain indah selalu mempunyai penampilan dan yang memberi kesan agung, anggun, mewah, berwibawa.
Ganja buatan Ki Nom, kebanyakan merupakan ganja wilut dan kelap lintah. Sirah cecak-nya montok dan meruncing ujungnya, gulu meled-nya besar dan kokoh. Ukuran panjang bilahnya sedang, lebarnya juga sedang, tetapi tebalnya lebih dibanding keris buatan Mataram lainnya, terutama dibagian tengah bilah. Bilah buatan Ki Nom selalu berbentuk nggigir lembu. Motif pamornya biasanya rumit, halus, dan rapat serta rapi sekali penempatannya. Besi yang digunakan, dua rupa. Bagian tengah yang bercampur pamor warna besinya hitam keabu-abuan atau hitam keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir hitam legam.
Bagian kembang kacang-nya dibuat seperti gelung wayang, tetapi berkesan kokoh, dan kalau diamati dari sisi atas akan tampak ramping. Jalen-nya kecil, lambe gajah-nya pendek. Blumbangan-nya dangkal, penuh dengan pamor. Sogokan-nya juga dangkal dan menyempit ke arah ujung. Janur-nya menyerupai batang lidi.
Salah satu keris adikarya hasil tempaan Ki Nom yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah keris berdapur Singa Barong yang dijadikan cenderamata lambang persahabatan antara Kasultanan Mataram dengan Kesultanan Jambi. Keris itu bernama Si Ginje, dan saat ini tersimpan di Museum Pusat di Jakarta.
Lebih lengkap, baca: Jaka Supa, Empu.

Untuk seniman keris masa kini, klik di sini.

Ensiklopedi Keris

Klik untuk gambar yang lebih besar
Ensiklopedi Keris adalah salah satu karya masterpiece terakhir dari Bambang Harsrinuksmo, seorang ilmuwan keris Indonesia sejati.

Peminat yang ingin memiliki dapat memesan melalui email ke:    
Baca juga resensinya dari Harian Kompas.
Data Ensiklopedi Keris:
Judul Ensiklopedi Keris
Penulis/Penyusun: Bambang Harsrinuksmo
Desain Kulit: Bambang Harsrinuksmo
Foto: S. Lumintu, Pandita, Bambang Harsri Irawan, Aditya Wikrama, Hardiono HB, dan Sudjojo Tanto
Ilustrasi Grafis: Bambang Harsrinuksmo, Waloejo Ds, Stanley Hendrawidjaja
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270
Cetakan I: Januari 2004
ISBN: 979-22-0649-3
Percetakan: PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta
Kontributor Utama:
S. Lumintu – Yogyakarta   
Kontributor:
H. Abd. Ramli – Palembang
Hardiono HB – Surabaya
Achmad Ubbe – Ujungpandang
H. Ab. Karim Hj. Achmad – Brunei Darussalam
H. Hasyim Ad. – Banda Aceh
J.B. Basuki – Surakarta
Peninjau Naskah:
Stanley Hendrawidjaja
Jimmy Harianto
Secara khusus terima kasih Penyusun ucapkan kepada:
  1. Haryono Haryoguritno, Ir.
  2. Wiradat Harjowidjojo, Ir. SE
  3. Muhammad Husodo Pringgokusumo, KRT (Alm.)
  4. Pudjadi Sukarno, Ir.
  5. Haryatno Pringgosaputro, R.
  6. Brotohadi Soemadijo, Ir.
Naskah Bambang Harsrinuskmo yang telah diterbitkan:
Cara Praktis Merawat Keris (1981)
Dapur Keris (1984)
Pamor Keris (1985)
Tanya Jawab Soal Keris (1986)
Ilmu Pernapasan Jawa (1988)
Ensiklopedi Budaya Nasional (1988)
Sumantri dan Sukasrana (1989)
Pijat dan Urut Cara Jawa (1990)
Imut, Hantu Budiman (1990)
Rama Bargawa (1993)
Ensiklopedi Wayang Indonesia (1998)
Naskah Bambang Harsrinuksmo lain yang telah siap dalam bentuk naskah:
Ukiran dan Hulu Keris (1994)
Warangka dan Sarung Keris (1994)
Etika dalam Dunia Perkerisan
Cerita dan Legenda dalam Budaya Keris
Sinta, Derita Sejak Lahir Hingga Ajal
Rahwana, Bukan Salah Bunda Mengandung
Dapur Keris Dilengkapi Gambar & Tinjauan Esoteri Budaya Keris
Pedoman Memilih Keris yang Baik dan Cocok
Sumber: Ensiklopedi Keris

Kerajinan Monel Jepara


Kerajinan Monel Jepara Ingin Tembus Pasar Dunia, salah satu kerajinan tangan Masyarakat Jepara  Jawa Tengah. merupakan salah satu potensi industri yang menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara. Monel bersama kerajinan tenun troso, rotan, gerabah, bordir, genteng, konfeksi menjadi penopang perekonomian warga Jepara selain industri furniture yang menjadi sektor utama hingga kini.

Kerajinan Monel Jepara yang merupakan perhiasan terbuat dari baja putih yang anti karat berhasil menjadi ciri khas Jepara setelah dirintis para perajin di Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan, sejak 1970-an. Selain Kriyan, juga ada Robayan, Margoyoso, Bakalan di Kecamatan Kalinyamatan. Industri monel di Kecamatan Pecangaan terdapat di Desa Krasak dan Gemulung.

Sementara itu, Kabid Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jepara Purwanto SU menjelaskan pengembangan monel lebih ke pasar luar Jawa. Menurutnya potensinya masih besar. ”Sambil terus melakukan pengembangan pasar di luar Jawa juga melihat peluang ekspor,” katanya.
”Untuk masuk pasar luar negeri memang harus maksimal karena Thailand juga punya industri tersebut.  Meski demikian, saya masih melihat ada peluang untuk mengembangkan monel ke pasar luar negeri