CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 13 Juli 2013

Negara Mutlak Memerlukan Intelijen

Jakarta (2/5/2013)- Setiap pemimpin pasti punya cerita. Kalimat tersebut membuka percakapan dengan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN) yang sekarang berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN), Letnan Jenderal TNI (Purn) Soedibyo di Jakarta, Sabtu (27/4/2013). Dalam wawancara tersebut Soedibyo menggaris bawahi : negara mutlak memerlukan intelijen untuk menjaga keamanan nasionalnya.
 
Berikut petikan wawancara dengan Mantan Kepala BAKIN, Soedibyo:
 
1.    Bagaimana perjalanan karir Anda, sehingga berhasil menduduki jabatan puncak sebagai Kepala BAKIN?
Awal karir meniti profesi intelijen dimulai dari menjadi seorang analis. Para analis terdiri dari pemikir strategi. Kegiatan operasional lapangan pada saat itu belum seperti sekarang. Pada masa itu, TNI juga memiliki badan intelijen yang kuat, yaitu Badan Intelijen Strategis (BAIS). Dalam perkembangannya, muncul  pemikiran bahwa BAKIN berperan sebagai pemikir strategi/think tank, sementara BAIS menjadi pelaksana teknis. Namun realitas menunjukkan  silih bergantinya masalah operasional di lapangan. Keterlibatan BAKIN dalam menangani ancaman didasarkan pada pertimbangan situasional. Salah satu contoh, dalam penanganan masalah Timor Timur. Ada semacam kesepakatan yang mengatur BAIS menangani kegiatan operasional di lapangan, sementara BAKIN hanya memonitor perkembangannya. Namun ketika terjadi peristiwa Santa Cruz, kesepakatan itu tidak berlaku. Buktinya, Presiden Soeharto selalu menanyakan perkembangan kasus tersebut kepada Kepala BAKIN, selaku pimpinan komunitas intelijen. Presiden menganggap BAKIN harus mengetahui perkembangan masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, walaupun tidak menanganinya secara langsung. Jadi, apabila ditanya mengenai prestasi selama menjabat sebagai Kepala BAKIN, jawabannya sedikit sulit,  karena pada waktu itu terdapat dua organisasi intelijen yang powerful di Indonesia, yaitu BAKIN dan BAIS. Banyak peristiwa yang sulit diklasifikasikan apakah itu merupakan prestasi BAKIN atau BAIS.
 
2.    Pengalaman yang impresif selama Anda menjabat sebagai Kepala BAKIN?
Selama bertugas di BAKIN banyak kesan yang sampai sekarang masih melekat. Kesan terdalam yang masih teringat adalah momen dikala saya menghadap Presiden Soeharto untuk melaporkan situasi rutin bulanan di Cendana. Meskipun suasananya tidak terlalu formil, saya dapat melaporkan masalah-masalah negara kepada Presiden RI. Itulah momen yang tidak pernah terlupakan.
Pernah ketika saya menjabat sebagai pimpinan intelligence community , saya harus meminta maaf kepada Presiden Soeharto dan Ibu Tien atas ketidaknyamanan melakukan kunjungan ke sebuah museum Perang Dunia II di kota Dresden, Jerman, akibat adanya demonstrasi liar. Saya meminta maaf karena intelijen tidak dapat mendeteksi demonstrasi. Permintaan maaf saya ditanggapi santai oleh Presiden Soeharto. Malah Presiden Soeharto tertawa melihat tingkah laku para demonstran yang sangat menggelikan. Diantaranya,  ada yang memukul ember, panci dan kaleng. Bahkan, ada yang meloncat-loncat sambil berteriak-teriak mengejek rombongan Presiden. Presiden merespon laporan itu hanya dengan memberikan komentar  di seputar kebiasaan budaya demonstrasi orang luar. Seperti itulah kesan yang tertangkap dalam memori saya. Bukan kesan yang selama ini sering digambarkan banyak orang bahwa Pak Harto adalah seorang diktatur. Dalam pandangan saya Pak Harto adalah seorang demokrat.
Saat menjabat Kepala BAKIN, BAIS ABRI dipimpin oleh Jenderal LB Moerdani yang juga bertindak sebagai Panglima ABRI. Karena itulah, saya  menjadi dekat dengan Jenderal LB Moerdani dan mengenal semua pejabat BAIS ABRI. Hubungan BAKIN-BAIS ABRI sangat erat, termasuk adanya intelligence community, yang merupakan forum koordinasi antar organisasi intelijen. Komunitas intelijen pada waktu itu dipimpin Kepala BAKIN.
 
3.    Bagaimana Anda melihat permasalahan bangsa harus dipecahkan?
Kekuatan dan kemampuan bangsa Indonesia untuk survive sudah sangat tinggi. Ketahanan nasional kita sudah cukup tinggi. Namun kita tidak boleh berpuas diri. Bangsa Indonesia wajib terus berusaha agar kekuatan dan kemampuan untuk survive terus meningkat.  Di masa Orde Baru, untuk melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945, disusun Strategi Pembangunan Jangka Panjang, Strategi Pembangunan Jangka Sedang dan Program Tahunan. Arah dan sasaran pembangunan dituangkan dalam GBHN.  Sayangnya, pola pikir pembangunan yang dirumuskan melalui  GBHN ditiadakan setelah reformasi. Banyak pihak berpendapat, GBHN sebagai dasar, pedoman dan arah pembangunan nasional tidaklah salah. Oleh sebab itu, banyak kalangan menginginkan bangsa Indonesia membangun  kekuatan dan kemampuannya untuk bisa tetap survive, melalui konsepsi sebagaimana GBHN. Sayangnya, partai politik yang menjadi salah satu tiang demokrasi, tidak tampil sebagai corong kehendak rakyat. Tidak ada satu pun partai yang memiliki  kejelasan sikap dalam merespon konsepsi pembangunan nasional yang strategik, seperti GBHN misalnya.
Akar permasalahan dalam kehidupan berbangsa adalah tidak adanya falsafah dan konsepsi yang tegas untuk menentukan  dasar, cara dan arah yang dituju dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, tidak ada parameter yang digunakan sebagai kontrol dalam pembangunan nasional. Hal lain adalah  belum terbangunnya sistem politik nasional yang kuat. Pengaruh kuat paham liberalisme telah menjadikan segala gerak bangsa seolah-olah tanpa disiplin dan tanpa norma.  Negara dan bangsa ini harus mempunyai ketegasan, bahwa NKRI harus hidup atas dasar UUD yang tidak berkarakter liberal.  Bangsa Indonesia harus menyediakan waktu dan menyingsingkan lengan serta memeras pikiran untuk menyempurnakan kembali UUD RI, supaya benar-benar berwatak Pancasilais.
 
4.    Bagaimana pendapat Anda mengenai UU Intelijen?
Setiap bangsa dan negara memerlukan stabilitas keamanan nasionalnya bagi keberlanjutan eksistensinya. Pada prinsipnya, setiap bangsa dan negara ingin terjamin dan terus survive. Pengertian keamanan nasional juga semakin luas ruang lingkupnya, bukan hanya mampu menghadapi ancaman genocide dari bangsa lain saja,  melainkan meliputi keamanan tanah air, lingkungan hidup dan kekayaan alam yang dimilikinya. Dalam konteks ini, kebutuhan Intelijen menjadi mutlak. Semakin sempitnya dunia membuat semakin terbatasnya sumber daya alam dan nafsu orang yang juga semakin serakah. Bangsa Indonesia harus mempunyai kewaspadaan terhadap lingkungan strategis yang mungkin tidak akan selamanya menujukkan situasi damai.
UU adalah kelengkapan  dari sebuah negara hukum yang demokratis, sehingga keberadaan UU Intelijen memang tidak bisa dihindari. Secara substansial, materi UU apapun tidak ada yang bersifat kaku dan bukan prinsip yang mati. Artinya, UU Intelijen yang baru diberlakukan, belum teruji kelemahan  dan kekurangannya.  Namun,  UU Intelijen ini tidak kebal terhadap usulan amandemen. Usulan amandemen bisa datang dari kalangan intelijen sendiri, apabila dirasa terdapat substansi yang tidak mendukung kepentingan intelijen.  Usulan amandemen juga bisa datang dari kalangan eksternal intelijen, karena isinya dianggap bertentangan dengan prinsip hidup bangsa Indonesia.
 
5.    Bagaimana Anda melihat profesionalisme intelijen saat ini?
Sebagai organisasi yang mengandalkan daya pikir dan keterampilan para anggotanya, BIN harus terus mengasah dan mempertajam profesionalisme aparaturnya. Dengan mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), BIN mencoba mengakselerasi profesionalisme intelijen anggotanya. Ketika saya menjabat sebagai Kepala BAKIN, rekrutmen anggota intelijen dilakukan secara tertutup dengan spotting. Sekarang lebih terbuka, salah satunya dengan mendirikan STIN dan rekrutmen dari universitas umum.
Jika melihat tantangan saat ini dan ke depan, dibutuhkan profesionalisme intelijen dalam pelaksanaan fungsi-fungsi intelijen. Intelijen harus profesional menyesuaikan lingkungan dan tantangan yang dihadapi. Jadi, profesionalisme mutlak diperlukan, sesuai dengan perkembangan jaman yang dihadapi.(*)

0 komentar: