CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 13 Juli 2013

Merunut Kembali Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Oleh: Prof Dr Dra MG Endang Sumiarni SH, Mhum*
 
Jakarta (22/04/2013)- Kurun sebelum ‘kemerdekaan’ Indonesia (sebelum 17 Agustus 1945) belum ada Negara  Kesatuan Republik Indonesia -- kawasan itu lazim disebut wilayah Nusantara. Batas-batas  wilayah Nusantara  itu tidak sama dengan batas-batas  wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bicara perihal wilayah Nusantara, ingatan kita harus kembali ke jaman kerajaan,  kasultanan, kasunanan, yang tersebar di seluruh  wilayah Nusantara. Dari kondisi itulah  sebenarnya terdapat berbagai  etnis atau suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman. Tentu saja, keanekaragaman budaya. Bicara budaya, tak dapat lepas dari mengenal unsur-unsur kebudayaan, yakni: sistem mata pencaharian, ilmu pengetahuan dan sistem teknologi, sistem komunikasi, organisasi sosial, kesenian, sistem kepercayaan (agama atau sejenisnya), pendididikan, kesehatan, tata boga dan tata busana.
Masing-masing  etnis mempunyai sumber kesusilaan. Terdiri dari sumber kesusilaan perseorangan dan  sumber kesusilaan umum.  Sumber kesusilaan perseorangan berupa cara-cara (bentuk) perbuatan.  Suatu bentuk perbuatan yang  dilakukan tiap individu, dapat menjadi kebiasaan yang  merupakan dasar dari kesusilaan umum.  Kebiasaan berkembang lebih lanjut menjadi tata kelakuan, lalu menjadi  adat istiadat dan bahkan menjadi hukum adat. Kesusilaan perseorangan yang  menjadi kesusilaan umum, kemudian ‘dilembagakan’:  untuk  diketahui, dimengerti,  ditaati, dihargai  yang kemudian terinternalisasi semakin kuat menjadi lembaga sosial. Dengan penjiwaan dan internalisasi yang makin kuat, menjadi  membudaya.
Sumber kesusilaan  yang terinternalisasi sehingga membudaya tersebut, berasal dari  peraturan yang  dikeluarkan raja-raja, sultan-sultan di seluruh Nusantara. Ada juga yang berasal  dari kitab-kitab  kuno. Ada pula yang berasal dari kehidupan masyarakat (rakyat) juga.  Sumber dari rakyat ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. 
Sumber kesusilaan selalu  mengandung nilai atau gagasan yang paling ideal, yaitu segala yang didambakan sebagai yang paling ideal yang  melekat pada objek, gagasan, dan pengalaman manusia  dalam  bercipta, berasa dan berkarya.  Nilai  yang  ada pada setiap suku bangsa, menyangkut masalah dasar. Yaitu tentang hakikat hidup, hakikat karya, persepsi waktu, pandangan terhadap alam, dan hubungan dengan sesama.
Dari situlah kemudian muncul sebuah corak yang dalam istilah “religiomagis” erat dengan pandangan hidup yang  mengandung perpaduan alam bepikir “bangsa Indonesia”. Bahkan religiomagis  ini diartikan manusia sebagai participerend cosmisch (manusia bagian dari alam semesta) wajib mengusahakan  keseimbangan atau keselarasan  atau keserasian antara makro kosmis dan mikro kosmis. Masyarakat di setiap suku bangsa sudah mempunyai kepercayaan terhadap Sang Hyang  Adhi Inderawi – yakni sesuatu yang  tidak bisa dilihat oleh mata manusia atau didengar oleh telinga manusia (kecuali orang terpilih), yg menggerakkan segala kekuatan di luar kemampuan  manusia, misal: kematian, kelahiran, bencana alam.  Setiap etnis mempunyai sebutan terhadap  Sang Hyang Adhi Inderawi dengan istilah berbeda-beda sesuai bahasa setempat. Penyebutannya berbeda tetapi mempunyai kesamaan  percaya pada Sang Hyang  Inderawi tersebut setelah ‘kemerdekaan’ dan berdiri Republik Indonesia dirumuskan dalam sila:  Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain corak religiomagis, suku banga di wilayah Nusantara, juga mengenal corak commune trek, atau communal, yakni kebersamaan. Ini bukti manusia merupakan makhluk dalam ikatan  kemasyarakatan yang  kuat dalam segala aktivitas (kegiatan)  manusia. Kepentingan  individu selalu diimbangi dengan  kepentingan umum. Hak-hak individu diimbangi hak-hak umum.  Corak religiomagis ini melahirkan sila:  Persatuan Indonesia.
Selain religiomagis dan commune trek, juga terdapat  corak tunai (kontan) artinya penataan pikiran serba konkret dengan perbuatan nyata, atau perbuatan simbolis atau dengan suatu pengucapan, maka suatu tindakan yang  dimaksud selesai seketika itu juga. Artinya,  masyarakat telah terbaisa dengan adanya  komitmen dan  dapat dipercaya. Contoh: jaman ‘dulu kala’ jual-beli padi di sawah seluas dua hektar, tidak memerlukan dokumen bahkan tidak perlu saksi seperti sekarang.  Antara penjual dan pembeli cukup berkomitmen dan saling percaya. Inilah yang harus dipahami bahwa  aspek kejujuran dari kebiasaan kesusilaan perorangan yang kemudian menjadi kesusilaan umum sehingga setiap ucapan  orang dapat dipercaya karena setiap orang mempunyai komitmen tinggi pada apa yang diucapkan. Corak tersebut, melahirkan sila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan demikian  dasar dari nilai-nilai  Pancasila tersebut,  merupakan kecerdasan atau kebijaksanaan setempat yang dapat diketahui atau ditemukan di balik aktivitas manusia. Misal, sikap membungkukkan badan jika hendak menghormati orang lain, posisi tangan saat mempersilahkan orang lain, cara duduk, dan lain-lain – semua mencerminkan  kebijakan atas  kecerdikan lokal. Setiap suku memiliki aktivitas atau simbol-simbol atau lambang-lambang yang memiliki makna. Hal itu dapat digali dari dongeng, cerita rakyat, pepatah, nyanyian daerah, semboyan, mitos-mitos yang ada.
Satu contoh model pengairan, Subak di Bali yang telah dilaksanakan turun temurun dari generasi ke generasi, merupalan dasar dari Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Kedadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Subak adalah kecerdasan dan kearifan lokal yang kini mendapat pengakuan dari The World Heritage. Kearifan lokal  yang  mengandung nilai-nilai dasar Pancasila terdapat di seluruh wilayah Nusantara. Tidak ada yang diambil dari bangsa atau wilayah lain. Meskipun berbeda-beda, namun nilainya tetap sama.
Dari situlah nilai-nilai  Pancaila  menjadi dasar, setelah  berdiri negara Republik Indonesia, atau setelah Indonesia ‘merdeka’.  Oleh perumus, nilai-nilai dalam berkehidupan suku bangsa yang ada dalam masyarakat, diperas menjadi lima sila di dalam rumusan Pancasila. Sejak  itulah Pancasila dijadikan dasar Negara Republik Indonesia.  Dasar adalah merupakan fondasi atau landasan sebuah negara. Bahkan  merupakan dasar filosofis yang tertinggi.
 Jika kemudian  muncul pemikiran baru Pancasila sebagai pilar – hendaknya benar-benar dikaji ulang dalam memahami dan memaknai dasar-dasar lahirnya sila-sila dalam Pancasila (setelah Indonesia ‘merdeka’).  Sebab, pilar adalah tiang,  bukan dasar/fondasi. Tiang alias pilar itu  tidak sekuat fondasi. Yang perlu  dipertanyakan  adalah:  pemikiran yang  melatarbelakangi upaya berubahnya Pancasila dari dasar menjadi  pilar. Selanjutnya, apa alasan   mengapa Pancasila  bukan sebagai dasar,  tetapi bergeser sebagai pilar?
Jika Pancasila menjadi pilar, pilar tersebut berdiri pada fondasi/dasar apa?  Dengan kata lain, jika Pancasila menjadi pilar, lalu layak dipertanyakan: apa yang (hendak) diletakkan sebagai dasar?
Bangsa Indonesia adalah pewaris negara, tentu saja  beserta dasar negara yang telah digali secara cerdas oleh para the founding fathers.  Sebagai pewaris harus sensitif dan cerdas  terhadap setiap segala bentuk upaya pengubahan.  Jangan menutup mata, telinga dan hati nurani terhadap bukti-bukti sejarah, hukum maupun budaya yang telah secara implisit maupun eksplisit meletakkan Pancasila sebagai dasar negera Republik Indonesia. Salah satu contoh, dokumen dari Dialog Budaya dalam rangka Penyusunan Cetak Biru Pembangunan Nasional Kebudayaan atas prakarsa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dialog budaya tersebut dilaksanakan di Medan, 31 Januari 2012. Berikut salah satu lembar Kerangka Berpikir yang menunjukkan dokumen bahwa Pancasila adalah dasar negara, bukan pilar (ke)bangsa(an). 
       

*Prof Dr Dra MG Endang Sumiarni SH, MHum; adalah guru besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum  Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Tim Ahli Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan, Direktorat  Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2013.

0 komentar: