CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 17 Juli 2013

Sejarah Seni Ukir Kota Jepara

Asal nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.

Menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga.

Sejarah Ukir Jepara – Suatu kebanggaan jika suatu daerah memiliki produk ciri khas yang bisa dibanggakan ke kota lainnya. Seperti halnya Kota kecil Jepara yang berada di daerah paling utara pulau jawa. Walaupun demikian rupanya banyak produk yang dihasilkan dari kota Jepara yang dikenal juga dengan ratu kalinyamat.

Selain itu juga produk ukir kayu juga dikenal di Jepara dan menjadi ciri khas Jepara Kota ukir. Ukir juga diidentikkan dengan mebel Jepara. Maka dari itu jika ada yang memerlukan produk properti seperti Mebel jati atau ukir jati pasti mencarinya di Jepara.

Dan berikut adalah sejarah dari ukir Jepara yang banyak di lupakan oleh masyarakat Jepara sendiri. Singkat cerita pada zaman dahulu kala hiduplah pengukir dan pelukis  di zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, Jawa Timur. Salah seorang Pengukir itu bernama Prabangkara atau dikenal dengan sebutan Joko Sungging. Dan pada saat itu Raja Brawijaya ingin memiliki lukisan istrinya dalam keadaan telanjang tanpa busana sebagai wujud rasa cinta sang raja.

Dipanggillah ahli ukir dan lukis Prabangkara itu untuk mewujudkan keinginan Raja Brawijaya. Prabangkara mendapatkan tugas yang mustahil dilakukan yaitu melukis istri sang raja dalam keadaan tanpa busana tetapi dia tidak boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana. Tentunya Prabangkara harus melukis menggunakan imajinasi saja. Dan akhirnya Prabangkara melaksanakan tugas tersebut, dan selesai tugasnya dengan sempurna.

Tiba-tiba saja ada seekor cicak buang tinja dan mengenai lukisan permaisuri tersebut. Sehingga lukisan permaisuri tersebut punya tahi lalat. Raja gembira dengan hasil karya Prabangkara tersebut. Dilihatnya dengan detail gambar lukisan tersebut. Dan begitu dia melihat tahi lalat, raja murka. Dia menuduh Prabangkara melihat langsung permaisuri tanpa busana. Karena lokasi tahi lalat persis seperti kenyataan.

Raja Brawijaya pun cemburu dan menghukum pelukis Prabangkara dengan mengikatnya di layang-layang, kemudian menerbangkannya. Layang-layang itu terbang hingga ke Belakang Gunung di Jepara dan mendarat di Belakang Gunung itu. Belakang Gunung itu kini bernama Mulyoharjo di Jepara. Kemudian Prabangkara mengajarkan ilmu mengukir kepada warga Jepara pada waktu itu dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan dan lestari hingga sekarang.

Ya itulah sejarah tentang ukir Jepara. Mungkin juga memberi inspirasi bagi ide layang-layang berawak manusia. Mungkin juga sangat berlebihan, bagaimana layang layang terbang dari Majapahit – Jawa Timur hingga ke Jepara Jawa Tengah? Apakah itu story atau history? Disisi Lain ada juga riwayat ukir Jepara tentang mebel Jepara. Yang ini ada bukti otentik berupa artefak peninggalan zaman Ratu Kalinyamat di Masjid Mantingan.

Ukiran Jepara sudah ada jejaknya pada masa Pemerintahan Ratu Kalinyamat (1521-1546) pada 1549. Sang Ratu mempunyai anak perempuan bernama Retno Kencono yang besar peranannya bagi perkembangan seni ukir. Di kerajaan, ada mentri bernama Sungging Badarduwung, yang datang dari Campa (Cambodia) dan dia adalah seorang pengukir yang baik.  Ratu membangun Masjid Mantingan dan Makam Jirat (makam untuk suaminya) dan meminta kepada Sungging untuk  memperindah bangunan itu dengan ukiran. Sampai sekarang, ukiran itu bisa disaksikan di masjid dan Makam Sultan Hadlirin. Terdapat 114 relief pada batu putih. Pada waktu itu, Sungging memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat.

0 komentar: